Pages

Jumat, 03 April 2015

AIR MENENTUKAN UMUR SIMPAN BAHAN PANGAN



1.     Umur  Simpan
Definisi umur simpan (shelf life) berdasarkan Institute of Food Technology (1974) adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi, sedang kondisi produk masih memuaskan pada sifat-sifat: penampakan, rasa-aroma, tekstur, dan nilai gizi. National Food Processor Association  (1978) menyatakan bahwa suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas memproteksi isi kemasan. Sedangkan Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu level (Suswini, 2009).
Pengolahan pangan pada industri komersial umumnya bertujuan memperpanjang  masa simpan, meningkatkan karakteristik produk, mempermudah penanganan dan distribusi, memberikan lebih banyak pilihan dan ragam produk pangan di pasaran, meningkatkan nilai ekonomis bahan baku, serta mempertahankan atau meningkatkan mutu. Kriteria atau komponen mutu yang penting pada komoditas pangan adalah keamanan, kesehatan, flavor, tekstur, warna, umur simpan kemudahan, kehalalan, dan harga (Andarwulan dan Hariyadi, 2004).
Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi dalam bahan pangan bersifat kumulatif dan tidak dapat balik selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi disebut waktu kadaluwarsa. Bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya (Syarief & Halid, 1993).
Peraturan mengenai penentuan umur simpan bahan pangan telah dikeluarkan oleh Codex Allimentarius Commission pada tahun 1985 tentang Food Labelling Regulation. Di Indonesia, peraturan mengenai penentuan umur simpan bahan pangan terdapat dalam UU Pangan No. 7 tahun 1996 dan PP No.69 tahun 1999 (Herawati, 2008).
Penetapan umur simpan dan parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Pada skala industri besar atau komersial, umur simpan ditentukan berdasarkan hasil analisis di laboratorium yang didukung hasil evaluasi distribusi di lapangan. Berkaitan dengan berkembangnya industri pangan skala usaha kecil-menengah, dipandang perlu untuk mengembangkan penentuan umur simpan produk sebagai bentuk jaminan keamanan pangan. Penentuan umur simpan di tingkat industri pangan skala usaha kecil menengah sering kali terkendala oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas, dan kurangnya pengetahuan produsen pangan (Herawati, 2008).
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu pada produk  pangan   menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu pangan selama distribusi, penyimpanan hingga siap konsumsi (Herawati, 2008). Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan disajikan  pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan
Produk
Mekanisme Penurunan Mutu
Kriteria Kadaluarsa
Teh kering
Susu bubuk

Makanan laut kering beku

Makanan bayi
Makanan kering

Sayuran kering
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air dan oksidasi
Oksidasi dan fotodegradasi

Penyerapan uap air
Penyerapan uap air

Penyerapan uap air
Peningkatan kadar air
Pencoklatan dan laju konsumsi O2
Aktivitas air
Konsentrasi asam askorbat

Off flavor- perubahan warna
Pencoklatan
Kol kering
Tepung biji kapas

Tepung tomat
Biji-bijian
Keju
Bawang kering
Buncis hijau
Keripik kentang

Udang kering beku
Tepung Gandum

Minuman ringan
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air

Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air dan oksidasi
Oksidasi
Penyerapan uap air dan Oksidasi
Pelepasan CO2
Pencoklatan
Konsentrasi asam askorbat
Peningkatan kadar air
Tekstur
Pencoklatan
Konsentrasi klorofil
Laju oksidasi
Laju konsumsi O2

Konsentrasi karoten
Konsentarsi asam askorbat
Perubahan tekanan
Sumber: Herawati (2008)
Penggunaan indikator mutu dalam menentukan umur simpan (shelf life) produk siap masak atau siap saji bergantung pada kondisi saat penentuan umur simpan tersebut dilakukan (Kusnandar 2004).
Hasil percobaan penentuan umur simpan hendaknya dapat memberikan informasi tentang umur simpan pada kondisi ideal, umur simpan pada kondisi tidak ideal, dan umur simpan pada kondisi distribusi dan penyimpanan normal dan penggunaan oleh konsumen. Suhu ekstrim atau tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi, 2004).  Pengendalian suhu, kelembapan, dan penanganan fisik yang tidak baik dapat dikategorikan sebagai kondisi distribusi pangan yang tidak normal. Kondisi distribusi dan suhu akan menentukan umur simpan produk pangan (Herawati, 2008).
1.1.  Prinsip Pendugaan Umur Simpan
Salah satu kendala yang sering dihadapi industri pangan dalam penentuan masa kedaluwarsa produk adalah waktu. Pada praktiknya, menurut Hariyadi (2004), ada lima pendekatan yang dapat digunakan untuk menduga masa kedaluwarsa, yaitu:
a.    Nilai pustaka (literature value). Nilai pustaka sering digunakan dalam penentuan awal atau sebagai pembanding dalam penentuan produk pangan karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki produsen pangan.
b.    Distribution turn over. Distribution turn over merupakan cara menentukan umur simpan produk pangan berdasarkan informasi produk sejenis yang terdapat di pasaran. Pendekatan ini dapat digunakan pada produk pangan yang proses pengolahannya, komposisi bahan yang digunakan, dan aspek lain sama dengan produk sejenis di pasaran dan telah ditentukan umur simpannya.
c.     Distribution abuse test. Distribution abuse test merupakan cara penentuan umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk selama penyimpanan dan distribusi di lapangan, atau mempercepat proses penurunan mutu dengan penyimpanan pada kondisi ekstrim.
d.    Consumer complaints. Pada penentuan umur simpan berdasarkan komplain konsumen, produsen menghitung nilai umur simpan berdasarkan komplain atas produk yang didistribusikan.
e.    Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Untuk mempersingkat waktu, penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan ASLT di laboratorium.
1.2.   Accelarated Shelf Life Testing (ASLT)
Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS atau sering disebut dengan ASLT dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu produk pangan. Salah satu keuntungan metode ASLT yaitu waktu pengujian relatif singkat dengan ketepatan dan akurasi tinggi. Hal ini diterjemahkan dengan menetapkan asumsi-asumsi yang mendukung model. Variasi hasil prediksi antara model yang satu dengan yang lain pada produk yang sama dapat terjadi akibat ketidak-sempurnaan model dalam mendiskripsikan sistem, yang terdiri atas produk, bahan pengemas, dan lingkungan (Arpah, 2007).
Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arfah dan Syarief, 2000).
Penentuan umur simpan produk dengan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu: 1) pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi dengan menggunakan perubahan kadar air dan aktivitas air sebagai kriteria kadaluwarsa, dan 2) pendekatan semiempiris dengan bantuan persamaan Arrhenius (Koswara, 2004).
Kerusakan produk pangan dapat disebabkan oleh adanya penyerapan air oleh produk selama penyimpanan. Kerusakan produk dapat diamati dari penurunan kekerasan atau kerenyahan, dan atau peningkatan kelengketan atau penggumpalan. Laju penyerapan air oleh produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh tekanan uap air murni pada suhu udara tertentu, permeabilitas uap air dan luasan kemasan yang digunakan, kadar air awal produk, berat kering awal produk, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan, dan slope kurva isoterm sorpsi air, faktor-faktor tersebut diformulasikan oleh Labuza (1982) menjadi   model matematika dan digunakan sebagai model untuk menduga umur simpan. Model matematika ini dapat diterapkan khususnya untuk produk pangan yang memiliki kurva isotermis sorpsi air berbentuk sigmoid. 

Keterangan umur simpan (masa kadaluarsa) produk pangan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan oleh produsen pada label kemasan produk pangan. Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan dan untuk memberikan jaminan mutu pada saat produk sampai ke tangan konsumen. Kewajiban pencantuman masa kadaluarsa pada label pangan diatur dalam Undang-undang Pangan no. 7/1996 serta Peraturan Pemerintah No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (expired date) pada setiap kemasan produk pangan.
Informasi umur simpan produk sangat penting bagi banyak pihak, baik produsen, konsumen, penjual, dan distributor. Konsumen tidak hanya dapat mengetahui tingkat keamanan dan kelayakan produk untuk dikonsumsi, tetapi juga dapat memberikan petunjuk terjadinya perubahan citarasa, penampakan dan kandungan gizi produk tersebut. Bagi produsen, informasi umur simpan merupakan bagian dari konsep pemasaran produk yang penting secara ekonomi dalam hal pendistribusian produk serta berkaitan dengan usaha pengembangan jenis bahan pengemas yang digunakan. Bagi penjual dan distributor informasi umur simpan sangat penting dalam hal penanganan stok barang dagangannya.
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan menyimpan produk pada kondisi penyimpanan yang sebenarnya. Cara ini menghasilkan hasil yang paling tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Kendala yang sering dihadapi oleh industri dalam penentuan umur simpan suatu produk adalah masalah waktu, karena bagi produsen hal ini akan mempengaruhi jadwal launching suatu produk pangan. Oleh karena itu diperlukan metode pendugaan umur simpan cepat, mudah, murah dan mendekati umur simpan yang sebenarnya.
Metode pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan metode Accelerated Shelf-life Testing (ASLT), yaitu dengan cara menyimpan produk pangan pada lingkungan yang menyebabkannya cepat rusak, baik pada kondisi suhu atau kelembaban ruang penyimpanan yang lebih tinggi. Data perubahan mutu selama penyimpanan diubah dalam bentuk model matematika, kemudian umur simpan ditentukan dengan cara ekstrapolasi persamaan pada kondisi penyimpanan normal. Metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dengan akurasi yang baik. Metode ASLT yang sering digunakan adalah dengan model Arrhenius dan model kadar air kritis sebagaimana dijelaskan berikut ini.

1.3.   Metode Pendugaan Umur Simpan

A.      Metode pendugaan umur simpan model Arrhenius
Metode ASLT model Arrhenius banyak digunakan untuk pendugaan umur simpan produk pangan yang mudah rusak oleh akibat reaksi kimia, seperti oksidasi lemak, reaksi Maillard, denaturasi protein, dan sebagainya. Secara umum, laju reaksi kimia akan semakin cepat pada suhu yang lebih tinggi yang berarti penurunan mutu produk semakin cepat terjadi. Produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannnya dengan model Arrhenius di antaranya adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mi instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan).
Karena reaksi kimia pada umumnya dipengaruhi oleh suhu, maka model Arrhenius mensimulasikan percepatan kerusakan produk pada kondisi penyimpanan suhu tinggi di atas suhu penyimpanan normal. Laju reaksi kimia yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya mengikuti laju reaksi ordo 0 dan ordo 1 (persamaan 1 dan 2).
Tipe kerusakan pangan yang mengikuti model reaksi ordo nol adalah
(1)    degradasi enzimatis (misalnya pada buah dan sayuran segar serta beberapa pangan beku);
(2)    reaksi kecoklatan non-enzimatis (misalnya pada biji-bijian kering, dan produk susu kering); dan ,
(3)    reaksi oksidasi lemak (misalnya peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan beku).
Sedangkan tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam rekasi ordo satu adalah :
(1) ketengikan (misalnya pada minyak salad dan sayuran kering);
(2) pertumbuhan mikroorganisme (misal pada ikan dan daging, serta kematian mikoorganisme akibat perlakuan panas);
(3) produksi off flavor oleh mikroba;
(4) kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan kering; dan
(5) kehilangan mutu protein (makanan kering) (Labuza, 1982).
Konstanta laju reaksi kimia (k), baik ordo nol maupun satu, dapat dipengaruhi oleh suhu. Karena secara umum reaksi kimia lebih cepat terjadi pada suhu tinggi, maka konstanta laju reaksi kimia (k) akan semakin besar pada suhu yang lebih tinggi. Seberapa besar konstanta laju reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu dapat dilihat dengan menggunakan model persamaan Arrhenius.  
Model Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan akhir pada minimal tiga suhu penyimpanan ekstrim. Percobaan dengan metode Arrhenius bertujuan untuk menentukan konstanta laju reaksi (k) pada beberapa suhu penyimpanan ekstrim, kemudian dilakukan ekstrapolasi untuk menghitung konstanta laju reaksi (k) pada suhu penyimpanan yang diinginkan dengan menggunakan persamaan Arrhenius (persamaan 3). Dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta penurunan mutu) pada suhu penyimpanan umur simpan, kemudian digunakan perhitungan umur simpan sesuai dengan ordo reaksinya (persamaan 1 dan 2).

B.      Metode pendugaan umur simpan model Kadar Air Kritis
Kerusakan produk pangan dapat disebabkan oleh adanya penyerapan air oleh produk selama penyimpanan. Produk pangan yang dapat mengalami kerusakan seperti ini di antaranya adalah produk kering, seperti snack, biskuit, krupuk, permen, dan sebagainya. Kerusakan produk dapat diamati dari penurunan kekerasan atau kerenyahan, dan/atau peningkatan kelengketan atau penggumpalan. Laju penyerapan air oleh produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh tekanan uap air murni pada suhu udara tertentu, permeabilitas uap air dan luasan kemasan yang digunakan, kadar air awal produk, berat kering awal produk, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan, dan slope kurva isoterm sorpsi air, faktor-faktor tersebut diformulasikan oleh Labuza dan Schmidl (1985) menjadi model matematika (persamaan 4) dan digunakan sebagai model untuk menduga umur simpan. Model matematika ini dapat diterapkan khususnya untuk produk pangan kering yang memiliki kurva isoterm sorpsi air (ISA) berbentuk sigmoid.
Model untuk menduga umur simpan produk pangan yang mudah rusak karena penyerapan air adalah dengan pendekatan metode kadar air kritis. Data percobaan yang diperoleh dapat mensimulasi umur simpan produk dengan permeabilitas kemasan dan kelembaban relatif ruang penyimpanan yang berbeda.
Produk pangan yang mengandung kadar sukrosa tinggi, seperti permen, umumnya bersifat higroskopis dan mudah mengalami penurunan mutu selama penyimpanan yang disebabkan oleh terjadinya penyerapan air. Umur simpan produk seperti ini akan ditentukan oleh seberapa mudah uap air dapat bermigrasi ke dalam produk selama penyimpanan dengan menembus kemasan. Semakin besar perbedaan antara kelembaban relatif lingkungan penyimpanan dibandingkan kadar air produk pangan, maka air semakin mudah bermigrasi.
Kurva ISA sukrosa dan produk pangan yang mengandung sukrosa tinggi lebih sulit ditentukan, karena sifat higroskopis dari gula yang menyebabkan penyerapan air berlangsung terus menerus dan tidak mencapai kondisi kesetimbangan, terutama pada kelembaban relatif (RH) di atas 75% (Guo, 1997). Kurva ISA produk pangan yang mengandung gula tinggi juga tidak berbentuk sigmoid sehingga kadar air ksetimbangan dan kemiringan kurva sulit ditentukan (Adawiyah, 2006). Oleh karena itu, penentuan umur simpan produk pangan yang mengandung kadar gula tinggi tidak dapat menerapkan model persamaan (4). Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memodifikasi model persamaan (4) dengan mengganti slope kurva ISA (b) dan kadar air kesetimbangan (Me) dengan perbedaan tekanan (∆P) antara di dalam dan di luar kemasan (Labuza dan Schmidl, 1985). Hal ini didasarkan pada prinsip terjadinya migrasi uap air dari udara ke dalam produk yang disebabkan oleh perbedaan tekanan udara antara di luar kemasan dan di dalam kemasan
Model matematika tersebut dapat dilihat pada persamaan (5). Untuk menentukan ∆P diperlukan data aktivitas air (aw) produk, dengan asumsi terjadi kesetimbangan antara RH di dalam kemasan dengan aw produk.

Air merupakan unsur utama yang terdapat dalam bahan pangan. Bisa dikatakan hampir semua bahan pangan baik nabati ataupun hewani mengandung air dan merupakan komponen penting karena air mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa bahan pangan. Bahkan dalam bahan pangan yang paling kering sekalipun seperti tepung, buah kering ataupun serealia terkandung air didalamnya hanya saja jumlahnya sangat kecil sekali.
Kandungan air dalam bahan makanan turut menentukan acceptability, kesegaran, penampakan, tekstur dan daya tahan bahan tersebut. Bahan pangan, baik yang berupa buah, sayuran, daging maupun susu, telah banyak berjasa dalam memenuhi kebutuhan air manusia. Buah mentah yang menjadi matang selalu bertambah kadar airnya contohnya buah apel yang mentah kadar airnya hanya 10% namun setelah matang, kadar air apel meningkat menjadi 80%, nenas mempunyai kadar air 87% dan tomat 95% Buah yang paling banyak mengandung kandungan air adalah semangkah dengan kadar air 97%. Banyaknya air dalam suatu bahan tidak dapat ditentukan dari keadaan fisik bahan tersebut. Misalnya buah nanas, jika dilihat secara sepintas seharusnya mempunyai kadar ai yang tinggi. Namun tenyata kandungan ai dalam buah nanas lebih endah daipada kandungan ai dai sayuran Kol atau Kubis atau cabbage. 
Air sebagai penyusun utama bahan pangan penting untuk penampakan, kesegaran serta daya tahan bahan pangan Contoh yang paling simple adalah Anggur atau grape. Saat segar, anggur atau grape mempunyai kadar air yang tinggi dengan tingkat kesegaran yang menakjubkan namun dengan daya tahan yang rendah. Namun saat dikeringkan dan menjadi Raisin, maka penampakannya yang keriput samasekali tidak menarik minat namun daya tahannya sangat tinggi hingga bisa disimpan selama bertahun tahun (Anonim, 2011)

Air memiliki karakteristik fisika, kimia dan biologis yang sangat mempengaruhi kualitas air tersebut. Oleh sebab itu, pengolahan air mengacu kepada beberapa parameter guna memperoleh air yang layak untuk keperluan domestik terutama pada industri minuman.
Faktor Fisika
Faktor-faktor fisika yang mempengaruhi kualitas air yang dapat terlihat langsung melalui fisik air tanpa harus melakukan pengamatan yang lebih jauh pada air tersebut. Faktor-faktor fisika pada air meliputi
1.        Kekeruhan
Kekeruhan air dapat ditimbulkan oleh adanya bahan-bahan anorganik dan organik yang terkandung dalam air seperti lumpur dan bahan yang dihasilkanoleh buangan industri
2.       Temperatur
Kenaikan temperatur air menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut. Kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat degradasi anaerobic ynag mungkin saja terjadi
3.        Warna
Warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawa-senyawa organik serta tumbuh-tumbuhan
4.       Solid (zat padat)
Kandungan zat padat menimbulkan bau, juga dapat meyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut. Zat padat dapat menghalangi penetrasi sinar matahari kedalam air
5.       Bau  dan Rasa
Bau dan rasa dapat dihasilkan oleh adanya organisme dalam air seperti alga serta oleh adanya gas seperti H2S yang terbentuk dalam kondisi anaerobik, dan oleh adanya senyawa-senyawa organik tertentu

2.2.    Faktor Kimia
Karakteristik kimia air menyatakan banyaknya senyawa kimia yang terdapat di dalam air, sebagian di antaranya berasal dari alam secara alamiah dan sebagian lagi sebagai kontribusi aktivitas makhluk hidup. Beberapa senyawa kimia yang terdapat didalam air dapat dianalisa dengan beberapa parameter kualitas air. Parameter kualitas air tersebut dapat digolongkan sebagai berikut
1.       Ph
Pembatasan pH dilakukan karena akan mempengaruhi rasa, korosifitas air dan efisiensi klorinasi. Beberapa senyawa asam dan basa lebih toksid dalam bentuk molekuler, dimana disosiasi senyawa-senyawa tersebut dipengaruhi oleh pH
2.       DO (dissolved Oxygent)
DO adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer/udara. Semakin banyak jumlah DO maka kualitas air semakin baik
3.       BOD (biological oxygen demand)
BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorgasnisme untuk menguraikan bahan-bahan organik (zat pencerna) yang terdapat di dalam air secara biologi
4.       COD (chemical oxygen demand)
COD adalah banyaknya oksigen yang di butuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara kimia
5.       Kesadahan
Kesadahan air yang tinggi akan mempengaruhi efektifitas pemakaian sabun, namun sebaliknya dapat memberikan rasa yang segar. Di dalam pemakaian untuk industri (air ketel, air pendingin, atau pemanas) adanya kesadahan dalam air tidaklah dikehendaki. Kesadahan yang tinggi bisa disebabkan oleh adanya kadar residu terlarut yang tinggi dalam air
6.       Senyawa Kimia Beracun
Kehadiran unsur arsen (As) pada dosis yang rendah sudah merupakan racun terhadap manusia sehingga perlu pembatasan yang agak ketat (± 0,05 mg/l). Kehadiran besi (Fe) dalam air bersih akan menyebabkan timbulnya rasa dan bau ligan, menimbulkan warna koloid merah (karat) akibat oksidasi oleh oksigen terlarut yang dapat menjadi racun bagi manusia (Farida, 2002)

2.3.   Faktor Biologi
Organisme mikro biasa terdapat dalam air permukaan, tetapi pada umumnya tidak terdapat pada kebanyakan air tanah karena penyaringan oleh aquifer. Organisme yang paling dikenal adalah bakteri. Adapun pembagian mokroorganisme didalam air dapat di bagi sebagai berikut
1.       Bakteri
Dengan ukuran yang berbeda-beda dari 1-4 mikron, bakteri tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Bakteri yang menimbulkan penyakit disebut disebut bakteri patogen
2.       Organisme Coliform
Organisme colliform merupakan organisme yang tidak berbahaya dari kelompok colliform yang akan hidup lebih lama didalam air daripada organisme pathogen. Akan tetapi secara umum untuk air yang dianggap aman untuk dikonsumsi, tidak boleh lebih dari 1 didalam 100ml air
3.       Organisme Mikro Lainnya
Disamping bakteri, air dapat mengandung organisme mikroskopis lain yang tidak diinginkan berupa ganggang dan jamur. Ganggang adalah tumbuh-tumbuhan satu sel yang memberi rasa dan bau pada air. Pertumbuhan ganggang yang berlebihan dapat dicegah dengan pemakaian sulfat tembaga atau klorin. Jamur adalah tanaman yang dapat tumbuh tanpa sinar matahari dan pada waktu tertentu dapat merajalela pada pipa–pipa air, sehingga menimbulkan rasa dan bau yang tidak enak (Anonim, 2011)

Dapat dituliskan kembali bahwa fungsi air dalam bahan pangan adalah sebagai berikut: 
1.       Air dapat mempengaruhi penampakan tekstur serta cita rasa makanan
2.       Air dalam bahan makanan menentukan kesegaran dan daya tahan pangan. Kerusakan bahan makanan seperti pembusukan oleh mikroba ditentukan oleh kandungan air yang adal dalam bahan makan tersebut.
3.       Selain itu air dalam bahan makanan menentukan komposisi yang dapat menentukan kualitas bahan makanan tersebut (Anonim, 2010).

Peran air dalam bahan pangan dan pengolahannya sangat penting sekali, seperti : 
1.       Aktifitas enzim dalam bahan pangan
Dalam bahan pangan, terdapat beberapa enzim yang hanya dapat bekerja jika ada air.Enzim tersebut tergolong enzim hidrolase seperti enzim protease, lipase, dan amylase
2.       Pelarut Universal
Air merupakan senyawa polar yang hanya akan melarutkan senyawa yang polar. Senyawa-senyawa polar tersebut seperti garam (NaCl), vitamin (vitamin B dan C), gula (monosakarida, disakida, oligosakarida dan polisakarida) dan pigmen (klorofil)
3.       Medium Pindah Panas
Dalam proses pengolahan pangan sering dilakukan pemasakan, dalam proses pemasakan tersebut digunakan kalor (panas). Kalor tersebut akan dihantarkan oleh air kebagian-bagian dalam bahan pangan secara merata, hal ini karena air mempunyai konduktivitas panas yang baik. Selain itu adanya air juga akan mempengaruhi kestabilan bahan pangan selama proses penyimpanan. Hal ini karena kestabilan bahan pangan tergantung dari aktivitas mikroba pembusuk seperti kapang, kamir dan jamur. Sedangkan aktivitas mikroba tersebut membutuhkan aw (water activity) tertentu yang bersifat spesifik untuk tiap jenis mikroba.Selain itu adanya air juga akan mempengaruhi kestabilan bahan pangan selama proses penyimpanan. Hal ini karena kestabilan bahan pangan tergantung dari aktivitas mikroba pembusuk seperti kapang, kamir dan jamur. Sedangkan aktivitas mikroba tersebut membutuhkan aw (water activity) tertentu yang bersifat spesifik untuk tiap jenis mikroba (Anonim, 2010).

Peranan air dalam berbagai produk hasil pertanian dapat dinyatakan sebagai kadar air dan aktivitas air. Sedangkan di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak. Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen disamping ikut sebagai bahan pereaksi. Dalam suatu bahan pangan, air dikategorikan dalam 2 tipe yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas menunjukan sifat-sifat air dengan keaktifan penuh, sedangkan air terikat menunjukan air yang terikat erat dengan komponen bahan pangan lainnya. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan dan pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalnya proses mikrobiologis, kimiawi, ensimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak. Sadangkan air dalam bentuk lainya tidak membantu terjadinya proses kerusakan tersebut di atas. Oleh karenanya kadar air bukan merupakan parameter yang absolut untuk dapat dipakai meramalkan kecepatan terjadinya kerusakan bahan makanan. Dalam hal ini dapat digunakan pengertian Aw (aktivitas air) untuk menentukan kemampuan air dalm proses-proses kerusakan bahan makanan (Slamet Sudarmadji, 2003).
Air terikat (bound water) merupakan interaksi air dengan solid atau bahan pangan. Ada beberapa definisi air terikat adalah sejumlah air yang berinteraksi secara kuat dengan solute yang bersifat hidrofilik.  Air terikat adalah air yang tidak dapat dibekukan lagi pada suhu lebih kecil atau sama dengan -40C. Air dalam bahan pangan terikat secara kuat pada sisi-sisi kimia komponen bahan pangan misalnya grup hidroksil dari polisakarida, grup karbonil dan amino dari protein dan sisi polar lain yang dapat memegang air dengan ikatan hidrogen (Anonim, 2011)

Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air bebas di dalam pangan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Nilai aw pangan dapat dihitung dengan membagi tekanan uap air pangan dengan tekanan uap air murni. Jadi air murni mempunyai nilai aw sama dengan 1.
Mikroba mempunyai kebutuhan aw minimal yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Di bawah aw minimal tersebut mikroba tidak dapat tumbuh atau berkembang biak. Oleh karena itu salah satu cara untuk mengawetkan pangan adalah dengan menurunkan aw bahan tersebut. Beberapa cara pengawetan pangan yang menggunakan prinsip penurunan aw bahan misalnya pengeringan dan penambahan bahan pengikat air seperti gula, garam, pati serta gliserol
Kebutuhan aw untuk pertumbuhan mikroba umumnya adalah sebagai berikut:
1.       Bakteri pada umumnya membutuhkan aw sekitar 0,91 atau lebih untuk pertumbuhannya. Akan tetapi beberapa bakteri tertentu dapat tumbuh sampai aw 0,75
2.       Kebanyakan kamir tumbuh pada aw sekitar 0,88, dan beberapa dapat tumbuh pada aw sampai 0,6
3.       Kebanyakan kapang tumbuh pada minimal 0,8.
Bahan makanan yang belum diolah seperti ikan, daging, telur dan susu mempunyai aw di atas 0,95, oleh karena itu mikroba yang dominan tumbuh dan menyebabkan kebusukan. Terutama adalah bakteri. Bahan pangan kering seperti biji-bijian dan kacang-kacangan kering, tepung, dan buah-buahan kering pada umumnya lebih awet karena nilai aw-nya 0,60 – 0,85, yaitu cukup rendah untuk menghambat pertumbuhan kebanyakan mikroba. Pada bahan kering semacam ini mikroba perusak yang sering tumbuh terutama adalah kapang yang menyebabkan bulukan
Seperti telah dijelaskan di atas, konsentrasi garam dan gula yang tinggi juga dapat mengikat air dan menurunkan aw sehingga menghambat pertumbuhan mikroba. Makanan yang mengandung kadar garam dan atau gula yang tinggi seperti ikan asin, dendeng, madu, kecap manis, sirup, dan permen, biasanya mempunyai aw di bawah 0,60 dan sangat tahan terhadap kerusakan oleh mikroba. Makanan semacam ini dapat disimpan pada suhu kamar dalam waktu yang lama tanpa mengalami kerusakan (Anonim, 2010)

Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor – faktor sebagai berikut : pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, kapang, khamir, aktivitas enzim – enzim di dalam bahan pangan, serangga, parasit dan tikus, suhu termasuk oksigen, sinar dan waktu. Mikroba terutama bakteri, kapang dan khamir penyebab kerusakan pangan yang dapat ditemukan dimana saja baik di tanah, air, udara, di atas bulu ternak dan di dalam usus.
Tumbuhnya bakteri, kapang dan khamir di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan pangan. Beberapa diantaranya dapat menghidrolisa pati dan selulosa atau menyebabkan  fermentasi gula sedangkan lainnya dapat menghidrolisa lemak dan menyebabkan ketengikan atau dapat mencerna protein dan menghasilkan bau busuk atau amoniak. Bakteri, kapang dan khamir senang akan keadaan yang hangat dan lembab. Sebagian besar bakteri mempunyai pertumbuhan antara 45 – 55oC dan disebut golongan bakteri thermofilik. Beberapa bakteri mempunyai suhu pertumbuhannya antara 20 – 45oC disebut golongan bakteri mesofilik, dan lainnya mempunyai suhu pertumbuhan dibawah 20oC disebut bakteri psikrofilik.
Umumnya bakteri membutuhkan air (Avalaible Water) yang lebih banyak dari kapang dan ragi. Sebagian besar dari bakteri dapat tumbuh dengan baik pada aw mendekati 1,00. Ini berarti bakteri dapat tumbuh dengan baik dalam konsentrasi gula dan garam yang rendah kecuali bakteri – bakteri yang memiliki toleransi terhadap konsentrasi gula dan garam yang tinggi. Media untuk sebagian besar bakteri mengandung gula tidak lebih dari 1% dan garam tidak lebih dari 0,85% (larutan garam fisiologis). Konsentrasi gula 3% - 4% dan garam 1 – 2% dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri.
Jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahanpngan tersebut. Perubahan yang dapat terlihat dari luar yaitu perubahan warna, pembentukan lapisan pada permukaan makanan cair atau padat, pembentukan lendir, pembentukan endapan atau kekeruhan pada miniman, pembentukan gas, bau asam, bau alkohol, bau busuk dan berbagai perubahan lainnya (Anonim, 2010).


 Referensi
  • Adawiyah,D.R. 2006. Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas dan Mobilitas Air Serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk Pada Model Pangan. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.
  • Guo,W.X. 1997. Influence of Relative Humidity on The Stress Relaxation of Sucrose Compact. Department of Pharmacy University of Toronto, Canada.
  • Labuza,T.P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc., Westport, Connecticut.
  • Labuza,T.P. and Schmidl,M.K. 1985. Accelerated shelf life testing of foods. Food Technology, 39 (9), 57-62, 64, 134. 
 Dr. Feri Kusnandar
Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
dan Peneliti SEAFAST Center Instititut Pertanian Bogor


Tidak ada komentar:

Posting Komentar